RENUNGAN HARIAN PEKAN ADVEN III. SABTU, 21 DESEMBER 2019. BACAAN : Kid. 2:8-14. Luk.1:39-45.
OLEH : RD. JOHN KOTA SANDO
OLEH : RD. JOHN KOTA SANDO
Adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dijawab, ketika orang bertanya "Apa itu kebahagiaan?" Mengapa? Karena kebahagiaan itu bukan sekedar rasa nyaman atau tenang semata. Juga kebahagiaan itu tidak bisa disamakan dengan harta, kuasa dan popularitas. Atau ketika seseorang enjoy dengan kenikmatan dan kesenangannya, lalu dengan mudah kita mengatakan "Oh, dia sudah bahagia". Rupanya kita harus bertolak lebih dalam untuk bisa menangkap wujud dan arti dari kebahagiaan itu.
Bunda Teresa dari Calcutta mengatakan bahwa penderitaan terbesar di dunia adalah ketika seseorang kehilangan kebahagiaan karena tidak disapa sebagai saudara dan kehilangan sentuhan cinta. Bagi Bunda Teresa, kebahagiaan itu terletak pada cinta dan persaudaraan. Memang benar demikian bahwa seseorang bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik; bisa merasa bahagia karena cinta dan hidup persaudaraan yang ia terima dan yang ia berikan.
Bacaan pertama (Kid. 2:8-14) mengatakan bahwa perjumpaan antara dua orang yang saling mencintai merupakan sesuatu yang sangat membahagiakan. Hal ini menggambarkan bahwa perjumpaan antara sesama yang dilandasi oleh semangat cinta kasih adalah sesuatu yang sangat membahagiakan, kerena di situlah kesempatan setiap orang saling berbagi dan saling menguatkan dalam suka-duka kehidupan ini. Itulah juga yang dialami oleh dua orang bersaudara Maria dan Elisabet, sebagaimana diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Luk.1:39-45). Perjumpaan itu begitu membahagiakan sampai-sampai anak dalam kandungan Elisabet melonjak kegirangan. Memang sebuah perjumpaan yang dilandasi cinta akan selalu membawa suka cita dan kegembiraan.
Perjumpaan antara Maria dan Elisabet juga menekankan aspek lain dari kebahagiaan yakni iman. Elisabet memuji Maria sebagai yang berbahagia karena imannya: "Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya, sebab firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana" (Luk.1:45).
Bunda Teresa dari Calcutta mengatakan bahwa penderitaan terbesar di dunia adalah ketika seseorang kehilangan kebahagiaan karena tidak disapa sebagai saudara dan kehilangan sentuhan cinta. Bagi Bunda Teresa, kebahagiaan itu terletak pada cinta dan persaudaraan. Memang benar demikian bahwa seseorang bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik; bisa merasa bahagia karena cinta dan hidup persaudaraan yang ia terima dan yang ia berikan.
Bacaan pertama (Kid. 2:8-14) mengatakan bahwa perjumpaan antara dua orang yang saling mencintai merupakan sesuatu yang sangat membahagiakan. Hal ini menggambarkan bahwa perjumpaan antara sesama yang dilandasi oleh semangat cinta kasih adalah sesuatu yang sangat membahagiakan, kerena di situlah kesempatan setiap orang saling berbagi dan saling menguatkan dalam suka-duka kehidupan ini. Itulah juga yang dialami oleh dua orang bersaudara Maria dan Elisabet, sebagaimana diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Luk.1:39-45). Perjumpaan itu begitu membahagiakan sampai-sampai anak dalam kandungan Elisabet melonjak kegirangan. Memang sebuah perjumpaan yang dilandasi cinta akan selalu membawa suka cita dan kegembiraan.
Perjumpaan antara Maria dan Elisabet juga menekankan aspek lain dari kebahagiaan yakni iman. Elisabet memuji Maria sebagai yang berbahagia karena imannya: "Sungguh, berbahagialah dia yang telah percaya, sebab firman Tuhan yang dikatakan kepadanya akan terlaksana" (Luk.1:45).
Iman itu membahagiakan. Karena dengan iman kita akan selalu datang dan menimba kekuatan dari sumber kebahagiaan sejati yakni Allah sendiri. Dengan iman pintu rahmat akan selalu terbuka di setiap segi kehidupan kita. Iman itu membawa keajaiban, menguatkan dan menyembuhkan. Maka berbahagialah kita yang hidup di dalam iman, karena rahmat kebahagiaan dari Tuhan akan terus tercurah dalam kehidupan kita.
A M I N.
A M I N.
============
*AKU INI HAMBA TUHAN, JADILAH PADAKU MENURUT PERKATAANMU*
_( Lukas 1 : 26-38 )_
*AKU INI HAMBA TUHAN, JADILAH PADAKU MENURUT PERKATAANMU*
_( Lukas 1 : 26-38 )_
*Memenuhi kehendak sendiri lebih mudah daripada memenuhi kehendak Allah, karena kehendak Allah sering sulit dimengerti dan dilakukan*
*Apalagi bila kehendak Allah itu merupakan perkara yang sulit dan penuh risiko, seperti yang dialami Maria*
Malaikat Gabriel diutus untuk menyampaikan berita kelahiran kepada Maria, seorang perawan muda dari keturunan Daud (26, 27).
*Allah berkenan menyatakan kasih karunia-Nya kepada Maria ( 28-30 ) yang tidak terpandang dari antara semua gadis Yahudi berasal dari Nazaret, yang tidak berarti bagi orang Yahudi ( lihat Yoh. 1:46 )*
*_Maria dipilih untuk menjadi ibu Mesias yang akan melahirkan Yesus, yang nama-Nya berarti Allah adalah keselamatan. Dialah Anak Allah yang Mahatinggi_*
*Dia adalah manusia sejati dan sekaligus Allah sejati. Ia juga akan menjadi Raja, yang mewarisi takhta Daud dan akan berkuasa atas seluruh umat Israel sampai selama-lamanya*
*Maria merasa khawatir karena kehamilan di luar nikah merupakan pelanggaran Taurat yang berat bagi orang Yahudi yang sangat ketat dan dosa ini akan diganjar dengan hukuman mati ( lihat Ul. 22:23-24)*
*Namun Gabriel menjelaskan bahwa hal itu terjadi karena pekerjaan Roh Kudus yang ajaib dalam menaunginya sehingga rahimnya menjadi _‘tempat kudus’_ bagi Anak Allah*
Hal ini tidak mustahil bagi Allah karena Ia juga telah membuat Elisabet hamil pada usia lanjut.
*Peneguhan ini membuat Maria merespons dengan penuh penyerahan dan ketaatan serta siap menghadapi risiko dan penderitaan karena kehancuran pertunangan dengan Yusuf dan kesalahpahaman orang Yahudi*
*_Marilah kita berkata seperti Maria, "jadilah padaku menurut perkataanmu itu" (38)_*
*Ketika Tuhan memilih kita untuk melakukan kehendak-Nya yang sulit serta penuh risiko dan penderitaan*
*Dia berkenan memilih kita tentu karena mempunyai rencana yang indah di dalamnya, maka terimalah dengan sukacita, penuh penyerahan, dan ketaatan*
_Uraian Lukas mengenai kedatangan Gabriel kepada Maria bisa dipakai untuk membaca kembali pengalaman hidup kita masing-masing_
Kehadiran yang sering membuat terkejut itu juga dapat membuat kita makin menyadari dan mendekat kepada Yang Ilahi sendiri - tentunya bila kita mau mencari tahu dan menyelami artinya. Seperti Maria.
*Adakah sikap tunduk dan berserah itu kita miliki juga saat Tuhan meminta kita taat?*
*Adakah kita hitung-hitungan mengenai harga yang harus kita bayar bila kita taat? Mari belajar dari Maria*
*_Tunduk dan berserah sebulat hati!_*
Comments
Post a Comment